Peran Dunia Usaha dalam Pengurangan Risiko Bencana
Heny Widiastuti
Board of Trustee, Filantra
Indonesia adalah negeri supermarket bencana terbesar di dunia. Semua jenis bencana ada di sini, gempa bumi, tsunami, longsor, likuifaksi, gelombang pasang, banjir, gunung meletus. Menurut United States Geological Survey (USGS), Indonesia yang berada di zona seismik yang sangat aktif adalah negara dengan frekuensi gempa bumi terbanyak di dunia. Indonesia hanya kalah dengan Jepang jika perbandingannya adalah luas daratan yang kerap diguncang gempa. Karena wilayah Indonesia yang besar, maka tidak semua gempa berdampak langsung atau bisa dirasakan di daratan.
Sebagai negeri yang berada di zona cincin api Pasifik, 90% gempa yang ada di dunia, berada di lokasi ini. Hal ini dapat penulis buktikan. Penulis mengunduh aplikasi BMKG, hampir setiap harinya aplikasi tersebut memberikan notifikasi kejadian gempa bumi di seluruh Indonesia. Itu artinya hampir setiap hari ada kejadian gempa bumi yang tidak semua getarannya dapat kita rasakan. Selain negeri kita rawan bencana, yang harus diwaspadai adalah adanya ancaman perubahan iklim secara global.
Sebagian besar kita mungkin faham bahwa bencana bukan hanya soal deployment humanitarian volunteer atau rescuer ketika kejadian terjadi, biasa disebut dengan response atau tanggap darurat. Akan tetapi manajemen bencana adalah suatu rangkaian dari hulu ke hilir. Dari pra sampai ke pasca. Dari mitigasi yang berdampak pada pengurangan risiko bencana (PRB) hingga ke recovery.
Jika dibandingkan dengan Jepang atau Chili sebagai negara yang sama sama rawan bencana, Indonesia dari sisi PRB nya berada di nomor buncit. Manajemen bencana bukan hanya tanggung jawab negara dalam hal ini BNPB. Manajemen penanggulangan bencana adalah tanggung jawab dari 4 sektor; negara, CSO, dunia usaha dan media. Ke empat sektor tersebut harus bersama-sama bahu membahu memberikan edukasi kebencanaan kepada masyarakat hingga bantuan recovery jika bencana itu terjadi.
Mengapa peran dunia usaha sangat urgent dalam PRB? Ini bukan soal business as usual, tapi ini tentang ketangguhan ekonomi yang berdampak secara langsung pada ketangguhan masyarakat. PRB adalah issue penting di dunia saat ini. Dilansir dari CNBC Rabu (20/12/2017), sepanjang 2017 total dunia mengalami kerugian hingga 306 miliar dolar AS, atau sekitar Rp 4.145 triliun. Ini hanya bencana alam saja, belum bencana yang diakibatkan oleh manusia.
Dari sisi pengamanan asset perusahaan pun, jika perusahaan melakukan upaya PRB dengan baik di wilayah operasi usahanya, maka yang diuntungkan selain asset usahanya terjaga, asset termahal dari perusahaan berupa SDM sangat mungkin terselamatkan. Selain itu, prinsip dalam penerapan program SDGs adalah No One Left Behind, tak seorang pun ditinggalkan dalam pencapaiannya, utamanya kelompok rentan. Standar CSR paling komprehensif, ISO 26000 Guidance on Social Responsibility, menuliskan banyak sekali ekspektasi terkait kelompok rentan ini dalam Subjek Inti Ketujuh, Pelibatan dan Pengembangan Masyarakat (ISO, 2010). Salah satu aspek penyebab kerentanan adalah bencana. Jadi, perhatian terhadap mereka yang sedang mengalami bencana sudah melekat pada dunia CSR.
Lima hal penting dari sektor dunia usaha/sektor swasta dalam PRB itu telah disebut oleh UNISDR (UN International Strategy for Disaster Reduction) dan sering dikutip di berbagai forum, yaitu:
- Mempromosikan kemitraan antara publik dan swasta untuk ketangguhan;
- Memanfaatkan keahlian dari sektor swasta dan keunggulannya;
- Mendorong adanya pertukaran data yang kolaboratif dan penyebarannya;
- Mendukung pengukuran risiko nasional dan lokal
- Mendukung pengembangan dan penguatan nasional dan lokal dalam bidang hukum, peraturan, kebijakan dan program.